![]() |
Kehidupan |
"Terus aku harus bagaimana”?
Temanku mengeluh didepanku. Ia
terlilit hutang yang buatnya begitu besar. Ia bercerita panjang. Cerita yang
sama dari waktu ke waktu tanpa ada perubahan.
Terkadang aku berfikir, bahwa
banyak orang sebenarnya menceritakan masalahnya ke orang lain hanya untuk
mendapat simpati, bukan untuk mendapat solusi. Ia hanya butuh pendengar bukan
pemberi jalan keluar.
Dan jujur, aku muak dengan semua
itu meski tidak kutampakkan. Energi negatifnya selalu ingin ia paksakan untuk
mempengaruhi, dan secara otomatis akalku menolak.
"Yang harus kamu pahami, aku
ini bukan keranjang sampah.. " Kataku yang membuatnya terhenyak.
Mungkin tidak pernah ada orang
yang berkata begini secara langsung di depannya. Ia terbiasa mendapat orang
yang selalu prihatin dengan masalahnya dan memujanya ketika ia ada. Ia lumpuh
oleh segala bentuk pemujaan terhadap dirinya.
Dan ketika ia jatuh, ia selalu
mencari simpati dengan mengasihani dirinya sendiri. Hanya berputar disitu saja,
seperti seekor anjing yang sibuk mengejar ekornya.
Kuseruput kopiku dan kuresapi
dengan nikmat. Sudah saatnya memberinya pelajaran baru dan aku tidak perduli
apakah ia menerima atau tidak. Aku hanya menyampaikan dan semua tergantung dari
usahanya.
"Bicaralah padaku jika ingin
mendapat solusi, bukan untuk mendapat simpati. Karena simpati hanya untuk orang
manja. Kalau kamu siap, sini kuberikan jalan keluar.. "
Kulihat ia mendengarkan,
gertakanku berhasil rupanya.
"Kamu selama ini berhutang
hanya untuk menutupi hutang. Terus begitu sehingga menjadi kebiasaan. Kamu
tidak pernah mencoba menurunkan gaya hidupmu karena gengsi, takut diukur
orang.
Kamu ini seperti kapal bocor
dimana-mana yang dengan cepat tenggelam. Kamu hanya menambal kebocoran itu
tanpa pernah berusaha memperbaikinya.
Dengan hutang baru untuk menambal
hutang lama, sebenarnya kamu malah membuat lubang-lubang baru. Tidak lama lagi
ekonomimu karam.."
Aku mengambil sebatang rokok dan
mulai membakarnya. Betapa mahalnya menjadi orang yang merdeka.
"Kamu boleh berhutang tapi
gunakan untuk membangun sumber pendapatan. Jadikan hutang itu produktif, bukan
konsumtif. Bagaimana kamu tidak tenggelam, jika pengeluaranmu segunung tetapi
pendapatanmu sepanci?"
Kali ini omonganku mendapat
perhatiannya. Ia sekarang lebih butuh solusi daripada simpati.
"Bagaimana caranya"?
Lalu kami berdiskusi panjang
tentang membuang semua beban cicilan yang memberatkan dengan menjual asset-aset
yang ada. Gaya hidupnya pasti menurun jauh, tapi itu jauh lebih baik daripada
mempertahankannya dengan dada yang sesak.
Hutang itu memang bisa membuat
seseorang menjadi sangat hina karena perlakuannya yang salah.
Aku memberinya banyak opsi sesuai
dengan apa yang ia punya. Dan pada akhirnya, sebelum pulang ia menjabat
tanganku seperti berterima-kasih. Wajahnya menjadi cerah sekarang. Ada harapan
baru dan semangat yang dulu hilang. Aku berhasil menularkan energi positif pada
dirinya.
Semua memang tergantung kita,
tergantung dimana kita menempatkan sudut pandang dan seberapa kuat kemauan
untuk berubah. Tanpa itu, doa sehari semalam pun tidak akan pernah merubah
keadaan.
Aku sendirian sekarang dengan
secangkir kopi di depanku yang sudah tinggal ampasnya. Tersenyum mengingat
diriku sekian tahun lalu pada kebodohan yang sama. Kebodohan yang terus
berulang-ulang.
Teringat dulu ketika temanku
berkata yang menamparku sekuat tenaga supaya bangun dari tidur panjangku.
"Tuhan itu maha penyayang,
apapun permintaanmu yang sesuai kadar dirimu, pasti dikabulkan. Masalahnya ada
di kamu. Kamu tidak pernah berusaha memahami-Nya, karena sibuk mengasihani
dirimu.. "
Sudah malam, saatnya pulang...