![]() |
Presiden Joko Widodo dan Raja Salman |
Kedatangan Raja Salman ke
Indonesia, tentu bukan hanya membawa misi ekonomi. Jika hanya misi ekonomi,
yang turun ke lapangan tidak perlu rajanya, karena raja itu simbol negara buat
pemerintahan dgn sistem monarkhi. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu yang
ingin dimainkan. Dan permainan itu bernama
politik.
Sudah bukan rahasia umum lagi,
bahwa Saudi dan Iran sedang berebut pengaruh di Timur Tengah. Perbedaan
mendasar di antara kedua negara itu terlihat dalam perang Suriah dan Saman.
Saudi berada di bagian koalisi barat bersama Amerika & Eropa, sedangkan
Iran di timur bersama Rusia dan China.
Bahkan hubungan keduanya sangat
panas saat tragedi Mina tahun 2015, yang menelan korban hampir 500 jamaah haji
Iran. Saudi dan Iran mencapai puncak ketegangannya saat Saudi mengeksekusi mati
ulama Syiah di Saudi.
Ketegangan ini menjalar
kemana-mana, sampai Qatar menarik dubesnya dari Iran karena membela Saudi.
Banyak pengamat yang khawatir ketegangan Sunni-Syiah di beberapa negara akan
semakin meningkat. Disinilah permainan cantik
Indonesia dimulai.
Indonesia memposisikan diri
berada ditengah. Menlu Retno Marsudi aktif melobi kedua negara supaya terjadi
tidak tegang. Dan karena langkah cantik ini, Saudi dan Iran simpatik kepada
Indonesia.
Iran yang lebih dulu mendekat ke
Indonesia, tentu melalui pendekatan ekonomi. Iran tahun lalu menanamkan
modalnya sekitar 14 juta dollar US di Indonesia. Ini menempatkan Iran sebagai
negara peringkat 13 dengan investasi besar di negara kita. Tahun ini Iran
berencana investasi lagi di bidang listrik dengan nilai 5 miliar dollar.
Selain itu Indonesia juga akan
impor gas murah dari Iran. Bukan itu saja, Iran juga membuka peluang Pertamina
untuk mengakuisisi dua lapangan migas di Iran.
Kedekatan Indonesia - Iran ini
membuat Saudi was-was. Nilai investasi Saudi di Indonesia sendiri relatif
kecil, mereka ada di peringkat ke 57. Ini sinyal kuning buat Saudi bahwa
pengaruh mereka di Indonesia - negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak
dunia -akan goyah.
Maka sekalian jualan saham Aramco
-Pertaminanya Saudi- Saudi harus mengamankan hubungannya dgn Indonesia.
Maka keluarlah Raja Salman dari
sarangnya. Simbol negara monarkhi itu harus punya pengaruh kembali di
Indonesia. Maka berangkatlah mereka ke Indonesia. Dengam harapan tingginya
harga jual Aramco, maka Saudi mulai menjaljn kerjasama lebih serius dengan
kita.
Memorandum of Understanding atau
MoU pun dilakukan Saudi-Indonesia. Tentu Indonesia senang, karena semakin
banyam investasi masuk, maka semakin untunglah kita. Dan berita bahwa Saudi
akan invest 6 milliar dollar -dengan catatan saham Aramco laku- adalah suatu
sinyal bahwa Saudi ingin terlihat sebagai "sahabat" Indonesia.
Yang senang tentu Jokowi.
"Asekk, investasi masuk lagi.." Maka disiapkanlah penyambutan luar
biasa -karena sifatnya Raja Salman senang kehebohan- supaya menarik minat Saudi
juga.
Disini harus kita akui kalau
Pakde Jokowi brilian. Ia memanfaatkan ketegangan kedua negara supaya bisa
mendapat keuntungan disana, keuntungan secara ekonomi. "Matrek juga kita
ya ternyata.." Pas kita lagi butuh-butuhnya uang untuk menstabilkan
ekonomi.
Jokowi berlaku sebagai teman yang
tidak memihak. "Daripada ribut mulu kalian berdua, mending invest disini
yuk.." begitu pemahaman sederhananya. Jokowi melalui Menlu Retno berhasil
memanfaatkan situasi untuk keuntungan Indonesia.
Hanya saya khawatir satu hal.
Semoga ketegangan Saudi -Iran di timur tengah tidak meluas ke Indonesia. Ini
sama seperti memelihara 2 anak macan di halaman rumah, yang punya potensi
berantem disini. Anak macan yang bernama Sunni dan satunya lagi Syiah.
Meski begitu Jokowi tidak takut
memainkan perannya. Ini momentum yang sangat baik, dan belum tentu terulang
seperti ini lagi dengan manisnya.
Semoga semua lancar aja. Jangan
sampai angin isu nanti berubah, "Habis PKI, terbitlah Syiah. Udah malam,
kopi dah habis udud tinggal sebatang. Sialnya, koreknya ga ada. Mending seruput
ajah... Seruput ampasnya.