![]() |
Pabrik Semen |
Permasalahan semen Rembang itu
kata kuncinya hanyalah bergandeng tangan. Seperti Alfamart dan Indomaret,
seharusnya ada titik temu antara PT Semen Indonesia dan petani Kendeng. Saya
minta maaf, karena disini saya agak menyinggung jomblo yang haus gandengan.
Pada waktu pemerintah masuk di
2014, mereka sebenarnya hanya ketiban "awu anget" karena pembangunan
pabrik Semen sudah dimulai sejak 2012 dengan nilai investasi waktu itu 3,5
triliun rupiah.
Tidak mungkin pemerintah baru
yang masuk di 2014 membatalkan pabrik Semen yang sudah dibangun itu.
Kenapa? Ya, bisa-bisa jadi candi
Hambalang baru. Mangkrak dengan nilai investasi besar. Dan dampak ke depannya
akan sangat buruk terhadap investasi besar di Indonesia, karena investor jadi
tidak ada jaminan keamanan ketika situasi politik berganti wajah.
Inilah kenapa Jokowi tetap
menemui para petani Kendeng, tapi menyerahkan keputusan untuk diselesaikan oleh
kedua belah pihak yang pro dan kontra dengan elegan. Jokowi melindungi
kepentingan yang lebih besar yaitu investasi-investasi di Indonesia, bukan
hanya di Rembang.
Tapi yang terjadi Jokowi dijadikan
sasaran tembak bahwa ia pro korporasi, pro asing dan aseng karena melindungi pabrik
Semen. Kita hapal lah gaya-gaya begono.
Memang sekarang sedang dibangun
konsep PRO & KONTRA, dengan meniadakan konsep penengah. Jadi siapapun yang
berbicara tidak sesuai petani, langsung dituding kontra.
Padahal kalau akal sehat dipake,
seandainya Jokowi kontra petani, sudah sejak awal aparat turun dan membubarkan
paksa demo yang sudah gak masuk akal pake cor-cor kaki itu. Saya jelas tidak
perlu ingatkan keganasan Soeharto kalo masalah bubar membubarkan demo. Masih
"Piye enak zamanku toh?".
Jokowi mengedepankan konsep
dialog antara PT Semen Indonesia dengan petani tanpa harus merugikan kedua
belah pihak. Dan seharusnya dialog ini tidak melibatkan dia, kan sudah otonomi
daerah. Masak apa-apa harus Presiden yang turun? Itu Presiden apa Hakim garis?
Sebenarnya solusinya mudah.
Tinggal ada kesepakatan bersama
antar PT SI dan petani bahwa nanti pabrik semen akan memakai sistem Clean
Industry atau industri bersih, dimana pabrik semen memakai teknologi terbaru
yang tidak menjadikan udara sekitar berdebu dan polusi.
Dan teknologi itu sudah ada, di
Tuban juga sudah memakai teknologi itu. Ini zaman teknologi, mbok.. bukan tahun
1960-an yang pabrik semen masih keluar asap-asap tebal dan warga batuk-batuk
tercemar.
Kedua, ada kesepakatan community
development. Dimana keberadaan pabrik Semen bukan menjadi ancaman tapi membantu
mengembangkan pertanian dan pengairan sehingga hasil yang didapat petani
bukannya menurun malah meningkatkan kesejahteraan.
Alat-alat pertanian di
modernisasi kaya di negara maju dan semua ditanggung PT SI sebagai bagian
kesepakatan. Ini sesuai dengan UUD 45 pasal 33.
Dan semua tertuang di Kajian
Lingkungan Hidup Strategis. Tarungnya disini, siapa dapat apa dan bagaimana
pengelolaannya. Bukan malah tarung pro dan kontra, atau harus ada yang tutup
dan ada yang menderita, atau juga harus ada yang kalah dan ada yang menang.
Tarung pun harus pintar, pake
otak bukan otot doang yang dibesarkan..
Nah, ketika ada kesepakatan yang
saling menguntungkan tidak ada yang "kalah jadi abu menang jadi
arang". Dua pihak senang dan Rembang pun aman.
Tinggal provokator di belakang
layar yang harus ngunyah celana dalam karena uang makan mereka hilang.
Beda sekali pemerintahan kali ini
dengan yang sebelum2nya. Sekarang "Ayo duduk sama-sama dan cari solusinya
di antara kalian sendiri. Biar pada dewasa, masak dikit-dikit laporan ke
bapak". Kalau dulu mah, "Wani
piroooo??".
Mudah kan? Semudah minum kopi
sasetan. Tinggal sobek, kasih air panas, aduk trus seruputtttt.... selesai.
Jangan kayak jomblo. Cari partner
aja bingung berabad-abad lamanya.
Syiah dan wahabi di Jakarta aja
udah gandengan, nanti kalau pabrik Semen ma petani Kendeng rangkulan, para
jomblo bisa-bisa gulingan di tengah jalan tol yang ramai. "Tabrak aku, kakaaaa..
Tabrak akuuu".