![]() |
Jokowi |
"Jokowi itu lebih
mengerikan. Jika ia hendak membunuh seekor
kodok, ia elus dulu kodok itu, kemudian ia taruh dalam sebuah panci yang berisi
air dingin, kodok merem melek kesenangan.
Lalu nyalakan api kecil dari
kompor dibawahnya, dan tanpa sadar kodok mati terebus pelan-pelan.."
Begitu kira-kira analogi Ahok
mendeskripsikan bagaimana cara Jokowi berperang saat mereka berdua bersama-sama
di DKI.
Cara perang pakde memang
membingungkan. Terutama bagi orang yang biasa langsung bertarung
berhadap-hadapan. Pakde tidak begitu, ia malah mendekati musuhnya lebih dekat
dari temannya dan membunuhnya dalam senyap tanpa kelihatan.
Sesudah demo besar 411, kita
melihat bagaimana pakde begitu geram. Dengan jaket bomber yang menjadi
terkenal, Jokowi seolah mengancam lawan politiknya untuk jangan macam-macam
dengannya.
Pakde akhirnya paham, bahwa titik
lemahnya ternyata ada di Ahok. Ahok begitu terbuka menjadi target serangan yang
akhirnya mengarah ke dirinya. Karena itu, ketika tahu bahwa ada "langkah
yang salah" di pengadilan, maka pakde melakukan strategi ulang.
Biarkan Ahok dikandangkan dulu
sementara, supaya mudah menggebuk lawan. Sulit bergerak ketika Ahok masih
menjadi target serangan. Dengan tiadanya Ahok sebagai target serangan, maka
pelan-pelan lawan dilucuti satu persatu.
Halus, tanpa banyak suara,
kelompok mereka dipecah. Satu dibubarkan, satu kabur karena ditelanjangi
"kesuciannya" habis-habisan dan satunya lagi terbuka kasus lama
korupsi alat kesehatan.
Polisi pun melakukan reformasi di
internalnya. Yang lama-lama - yang kerjasama dengan kaum intoleran -dibuang.
Wajah baru muncul dengan target menjaga ketertiban dari preman berbaju
keyakinan.
Ibarat catur, pakde menata ulang
penempatan bidak supaya pertahanannya terlihat lemah, tapi sebenarnya itu
jebakan yang mematikan.
Karena tidak tahan dilucuti satu
persatu, komando lapangan lawan pun akhirnya harus memakai komisioner HAM
sebagai juru-runding. Mereka ingin "rekonsiliasi" dengan pakde. Sempak
putih dikibarkan..
Inilah yang disebut
"membunuh dengan senyap dan perlahan"...
Mereka yang dulu ragu dengan gaya
perang Jokowi, seharusnya sekarang berdiri dan bertepuk tangan. Jokowi tidak
memainkan musik rock yang menggebu-gebu dalam berperang, ia seperti dirijen
dalam kelompok orkestra besar.
Ia memainkan tempo keras, cepat,
lembut, pelan dan halus secara bersamaan. Yang terlihat adalah komposisi
ekstrim yang sulit diperkirakan dimana akhir dan mana awal. Tiba-tiba semua
sudut menjadi senjata mematikan..
Selesai?
Belum. Salah satu sifat buruk
wong Solo adalah sedikit pendendam meski tidak ditunjukkan. Maka lawan harus
habis sehabis-habisnya karena sudah menyakiti hatinya. Tumpas ke akar-akarnya.
Dikabarkan ada beberapa ormas
lagi yang sering mengganggu jalannya pemerintahan akan digebuk dan dibubarkan.
Mereka sudah keterlaluan..
Saya selalu tertarik melihat cara
perang pakde. Selalu ada sudut pandang baru dimana saya akhirnya belajar bahwa
memperlihatkan emosi di hadapan lawan sesungguhnya adalah kelemahan..
Biarkan lawan yang emosi melihat
kita. Kalau dia tidak emosi, keplak belakang kepalanya..
"Jancuk, siapa keplak kepala
ana?? Apa gak tau ana ini Imam besar ???". Loh, dia lagi... Kok berasa
kenal?