![]() |
Pertamina |
Benarkah aset Pertamina akan
dijual?
Berita penjualan aset Pertamina
ini bulak balik di timeline saya. Bahkan ada banyak yang mempertanyakan
"kenapa kamu gak bicara tentang aset Pertamina yang dijual?"
Seolah-olah saya tahu semua dan harus menjelaskan.
Bahasa "dijual" ini
memang bahasa sensitif. Terutama ketika menuju tahun politik, dimana gorengan
harus makin sip.
Kata-kata "dijual" harus
diteriakkan, timbulkan ketakutan kepada masyarakat awam bahwa Pertamina mulai
jual-jual aset karena keuangannya buruk. Sama seperti penjualan Indosat oleh Megawati
tahun 2002.
Padahal bahasa "dijual"
ini adalah bahasa luas. Apa yang dijual? Apakah sahamnya? Apakah kontraknya?
Apakah produksinya? Dan banyak lagi model yang bisa memanfaatkan kata
"dijual".
Sebagai contoh sederhana begini..
Kita punya 5 rumah, di beberapa
lokasi strategis. Semua rumah itu produktif, ada yang kita jadikan bisnis
restoran, ada yang buat bimbingan belajar dan beberapa usaha diatasnya.
Nah, kita pengen memperbesar
bisnis nih, ceritanya. Tapi kita butuh tambahan modal segar. Darimana dapatnya?
Oke, kita lakukan "Aksi
korporasi.."
Kebetulan kita punya teman,
namanya Roy Sukro. Si Sukro ini kalau ketawa mulutnya lebar. Dia dulu ahli IT
tapi sekarang sukses buka restoran, karena dulunya suka ngambilin panci.
Kita tawarin ke si Sukro.
"Kro, gua jual saham usaha restoran gua. Gua butuh modal untuk ngembangin
bisnis lain. Tapi saham gua di restoran tetap mayoritas ya.. Elu masukin dana
kesini, pegang saham minoritas. Aset rumah tetap milik gua, karena yang gua
jual usahanya, bukan rumahnya.."
Itu namanya dijual juga, kan ?
Dan inilah yang dinamakan "share down". Saling berbagi untung dan
berbagi rugi dalam kepemilikan usaha..
Si Roy Sukro mau. "Wah,
bagus nih. Entar kalau restoran yang ini gede, gua bisa ambil panci2nya untuk
koleksi di rumah.." Emang kurang ajar si Sukro, partner bisnis diembat
juga.
Sukro pun masukin duit. Kita
dapat modal untuk ngembangin bisnis lain diluar restoran..
Dalam perjalanan, ternyata usaha
restoran sama si Sukro ini berkembang besar. Dan kita ingin usaha ini bertambah
besar. Hanya karena kita juga sibuk ngurusin usaha lain, kita gak sanggup
membesarkan restoran itu.
Akhirnya kita membuat keputusan.
"Usaha restoran harus punya manajemen sendiri, lepas dari perusahaan
induk. Dia harus berkembang sendiri, punya badan hukum sendiri, bisa minjem
duit ke Bank sendiri, pokoknya semua sendiri. Perusahaan induk gak ikut campur
dalam manajemennya. Yang gua tahu, hasilnya disetor ke rekening gua.."
Wah, Sukro gak akan sanggup
karena selain keuangannya terbatas, kemampuan otaknya juga terbatas. Karena
itu, kita berdua mencari partner yang lebih mumpuni, yang punya uang dan punya
kemampuan untuk membesarkan restoran menjadi banyak restoran.
Ini dinamakan "spin
off", melepas perusahaan dari perusahaan induk, supaya mereka bisa lebih
fleksibel bergerak dan menguntungkan.
Namanya "dijual" juga..
Lihat kan, dari dua kasus itu
kita tahu bahwa kita sama2 menjual. Tapi bukan menjual karena rugi. Kita
"menjual" usaha atau produksi, untuk menambah keuntungan, supaya
perusahaan kita tambah besar.
Aset rumah? Tetap milik kita
dong, kan yang dijual usahanya bukan asetnya..
Itulah yang dilakukan oleh
Pertamina dalam aksi korporasinya. Semua bahasanya adalah "jual"
tetapi bukan jual aset, melainkan menjual sebagian usaha, untuk menambah modal
dan mengembangkan Pertamina menjadi lebih besar.
Bisnis Pertamina itu banyak, maka
masing-masing harus dikelola dengan benar dan dengan partner yang mumpuni juga punya
modal..
Mudah-mudahan penjelasan
sederhana ini bisa dimengerti, supaya jangan teriak "Jual jual"
doang, tapi gak ngerti maksudnya..
"Iya kan, Kro? Kro? Lha
kok ngilang? Dimana lu, Kro?" Sial, si Roy Sukro ternyata kabur sesudah
ngembat cangkir kopi gua..
Kro, kro... Kelakuan..