![]() |
Demo |
Keputusan Jokowi membebaskan Abu
Bakar Baasyir yang sudah renta dan sakit-sakitan, menuai kontroversi..
Banyak yang mengkaitkan itu
dengan Pilpres 2019. "Jokowi butuh suara dari kelompok radikal.."
begitu kata pendukung Jokowi yang mengutuk keputusannya. Dan beberapa
diantaranya mengajak Golput, seperti biasa.
Mereka membandingkan keputusan
Jokowi ini dengan maraknya aksi radikalisme sampai dipenjarakannya Meiliana
karena masalah toa.
Tapi benarkah Jokowi lembek
terhadap kaum radikal dan teroris ?
Kita harus paham, bahwa
radikalisme dan terorisme ini sudah berlangsung cukup lama dalam bentuk
virus-virus ideologi dan sudah merasuk ke banyak elemen seperti pendidikan,
bahkan aparat pemerintahan dan keamanan.
Ibaratnya, Indonesia sudah berada
di tingkat stadium 4, tingkat yang mendekati kematian.
Seperti cancer, ada dua opsi
untuk memberantasnya. Memotong anggota tubuh yang terkena atau melakukan
pengobatan bertahap yang tentu lebih lambat.
Pada masa pemerintahan SBY,
memang terlihat sang Pepo tegas terhadap radikalisme dan terorisme dengan
memenjarakan Rizieq Shihab dan Abu Bakar Baasyir. Tetapi apa yang dilakukan
Pepo sebenarnya belum cukup, ia tidak menyelesaikan akar masalahnya.
Akar masalahnya bukan di
"orang"nya, tetapi ada di peraturannya.
Dengan peraturan, akan mudah
menetapkan langkah apa yang harus diperbuat. Orang yang terpapar radikalis
boleh berganti, tetapi ideologi mereka tetap. Karena itu harus ada peraturan
yang membuat mereka tidak bisa berkembang.
Dan dalam hal ini, Jokowi sangat
keras sehingga dia dibenci oleh kaum radikal..
Pembubaran HTI adalah bukti
bagaimana Jokowi membuat keputusan keras dan tegas, dimana Pepo saja tidak
berani melakukannya. Kenapa ? Karena diprediksi anggota HTI sudah berjumlah 3
juta orang, dan itu sama dengan 3 juta suara. Sebagai politisi, sangat rugi
jika 3 juta suara itu tidak berpihak padanya.
Jokowi tidak perduli. Dia tidak
butuh suara dari kaum radikal. Dia malah berhadapan dengan mereka. Jokowi
lembek?? Ah, masa..
Kemudian Perpu Terorisme.
Ketika DPR dengan ogah-ogahan
merampungkan revisi UU Terorisme, Jokowi dengan tegas berkata, "Kalau
tidak selesai juga bulan Juni (2018), maka saya akan terbitkan Perpu
terorisme.."
UU terorisme ini penting bagi
Jokowi, karena dengan itu kepolisian bisa bertindak melakukan pencegahan dengan
menangkapi mereka yang terindikasi atau terlibat jaringan teroris. Selama ini
kepolisian tidak bisa menangkap orang yang dicurigai teroris, sebelum dia
melakukan kejahatan. Dan akhirnya polisi lah yang banyak menjadi korban.
Jokowi lembek ?? Ah, ngga tuh..
Mungkin analoginya begini. Ibarat
dokter, Jokowi punya cara yang berbeda ketika mendiagnosa satu penyakit dan
melakukan pengobatan. Kalau dokter lain maen operasi saja, Jokowi lebih suka
melihat dimana akar masalahnya dengan cermat baru melakukan pengobatan.
Operasi memang terlihat sebagai
solusi instan, tetapi bisa menimbulkan cacat permanen. Jokowi melakukan operasi
juga, tapi dia menghindari cacat permanen pada anggota tubuh, sehingga dia
mengoperasi pada sumbernya, bukan pada anggota tubuh yang terkena.
Jadi, jangan lalu sibuk membangun
stigma bahwa cara pengobatan Jokowi jelek, hanya karena cara dia berbeda. Toh,
selama ini cara dia membuat kondisi kita sampai sekarang masih baik-baik saja.
Betul, kan ?
Lagian kalau mau Golput, golput
aja tentu kampret senang. Tapi jangan setiap Jokowi membuat keputusan yang
dirasa tidak menyenangkan, terus langsung pengen golput.
Sedikit-sedikit Golput,
sedikit-sedikit Golput. Golput kok sedikit-sedikit.. 😀😀
Seruput dulu ahhhh... Pecinta
kopi selalu tahu, bahwa untuk mendapatkan kopi berkualitas, prosesnya tidak
seperti kopi sachetan.