Rabu, 03 April 2019

SULTAN, DAERAHMU SEKARANG RADIKAL

Radikalisme
Slamet Jumiarto
Slamet Jumiarto pasti bengong.. Pelukis itu tiba-tiba ditolak untuk tinggal di dusun Karet, Bantul, Jogjakarta. Alasannya? Hanya karena ia beragama Katolik.
Menurut seorang tokoh di dusun Karet itu, penolakan untuk yang non-muslim dan penganut kepercayaan disana, adalah bentuk kearifan lokal dan disepakati semua warga. Aturan itu diawasi oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa. Kata tokoh itu seperti dimuat di Tempo, mereka meniru Aceh.
Sejak awal saya sudah mengkhawatirkan situasi seperti ini terjadi. Maraknya bisnis yang bernuansa agama, seperti pemukiman syariah khusus seagama, sampai salon dan laundry saja ada yang khusus untuk seagama, akan meluas dan mengkotak-kotakkan masyarakat kita berdasarkan "apa agamanya".
Ini adalah bibit-bibit intoleran yang akan berkembang menjadi radikal dan pada satu waktu menyuburkan terorisme. Bantul sendiri bukan hal baru dalam bidang intoleran dan radikal.
Tahun 2018 terjadi pembubaran sedekah laut disana. Juga ada penolakan bakti sosial karena dinilai ada unsur Kristenisasi. Dan yang paling miris tahun 2016 lalu, sebuah bom paku yang dibuang di sawah meledak dan membunuh seekor kerbau dengan tubuh penuh paku.
Sempitnya pemikiran para warga disana tidak lepas dari berkembangnya ormas-ormas agama garis keras yang sibuk membangun sistem berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Ormas-ormas itu menurunkan "para ustad" untuk mencuci otak para warga supaya menjadi rasis dan sempit.
Tidak cukup hanya mengajarkan anak-anak sekolah tentang toleransi, aparat pemerintahan di Jogjakarta harus turun langsung memberantas pola pikir membangun Bantul menjadi wilayah khusus untuk agama tertentu. Dan ini harus dengan cara keras, kalau perlu penjarakan mereka yang bertindak intoleran dan gerakkan ustad-ustad moderat untuk membersihkan pikiran warga awam.
Kalau tidak dilakukan sekarang, kelak Bantul akan menjadi laboratorium bagi para radikalis untuk mengembangkan cara yang sama di daerah lain. Ditakutkan, keberagaman di negara ini terganggu dan akan terjadi tindakan balas dendam di daerah lain dimana agama yang berbeda menjadi mayoritas.
Sultan, daerah ditempatmu memimpin sekarang begitu radikal..
Jangan biarkan Jogja yang dulu tercitrakan sebagai tempat yang indah dengan sejarah dan kebudayaan yang terjaga, harus hilang dan menjadi daerah yang sibuk menghakimi agama yang berbeda.
Berwibawalah, jika tidak kelak ketika pemikiran intoleran itu menguasai Jogjakarta, engkau akan menyesal karena sudah terlambat menanganinya.
Jangan sampai lagu KLA Project syairnya berubah, "Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. Tidak seperti dulu, tiap sudut menatapku curiga.."
Ahhh.. Jogja. Seruput kopi dulu..

Senin, 01 April 2019

GATOT NURMANTYO DAN ILUSI PKI VERSUS ISLAM

Foto Gatot Nurmantyo dan Hendropriyono
Sejak masih menjadi Panglima TNI, saya jujur heran dengan gerak gerik Gatot Nurmantyo.
Gatot pada masa-masa mendekati akhir jabatannya, begitu gencar membangun narasi kebangkitan PKI, seolah-olah partai komunis yang sudah dibubarkan sejak 1966 itu masih ada dan ingin bangkit kembali.
Bahkan pada bulan November 2017, saat masih menjabat, ia gencar mempromosikan nobar film PKI yang dibuat pada tahun 1984. "Kalau itu perintah saya, mau apa memangnya??" Begitu kata Gatot saat diwawancarai oleh media dengan nada yang condong arogan.
Yang menarik, pada bulan November 2018, meski sudah tidak menjabat sebagai Panglima TNI, ia menantang KSAD yang waktu itu dijabat Jenderal Mulyono, untuk melepas pangkatnya jika tidak berani menggelar nobar PKI.
Ada apa sebenarnya dengan beliau?
Nah, kejadian ini tambah menarik perhatian saya ketika Gatot Nurmantyo mengomentari pernyataan mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono bahwa Pemilu kali ini bukan tentang Jokowi dan Prabowo, tetapi pertarungan ideologi Pancasila melawan Khilafah.
Gatot komentar di laman Instagramnya membalas pernyataan Hendropriyono, "Jangan mau dipecah belah sama orang-orang yang haus kekuasaan !!"
Ia juga menambahkan dengan mengupload potongan surat kabar lama yang berisi pernyataan almarhum Jenderal AH Nasution, bahwa "PKI secara menipu mempertentangkan Pancasila dan Islam".
Bagi Gatot, yang pernah diberi gelar "Jenderal Islam" oleh para pendukungnya, PKI adalah biang segala masalah, termasuk permasalahan saat ini saat munculnya teori ada gerakan Khilafah di belakang kubu Prabowo yang menguat pasca dibubarkannya HTI oleh Jokowi pada tahun 2017.
Gatot seolah-olah "buta" bahwa tanpa ada PKI, di Timur Tengah gerakan pendirian negara Islam sudah memecah Suriah menjadi berkeping-keping dengan pertarungan ISIS dan Alqaeda, yang sama-sama beragama Islam dan mengusung agenda khilafah versi mereka masing-masing.
Kedua organisasi teroris itu selain berhadap-hadapan dan saling memenggal, mereka juga sama-sama bertempur melawan pemerintahan Suriah yang sah.
Lalu, apa yang salah dari pernyataan AM Hendropriyono, bahwa Pemilu kali ini adalah pertarungan Pancasila melawan Khilafah?
Hendropriyono sebagai mantan Kepala BIN tentu punya bukti kuat adanya gerakan untuk mengganti sistem Republik ini menjadi negara Islam, oleh gerakan transnasional yang diusung oleh salah satunya bernama Hizbut Thahrir.
Yang salah mungkin adalah ilusi Gatot Nurmantyo yang menganggap bahwa Islam di Indonesia itu satu, dan pecahnya mereka adalah karena gerakan PKI yang mengadu domba. Padahal, tanpa ada yang mengadu domba, apalagi oleh PKI yang jejaknya saja sudah tidak ada, Islam di Indonesia sudah terpecah.
"Mana buktinya Islam di Indonesia terpecah ??" Kata seseorang dengan ngototnya.
Lah, selama ini Banser NU sedang menghadang siapa ??
Gesekan-gesekan antara Banser NU dengan simpatisan HTI terjadi dimana-mana. Di Surabaya, di Sidoarjo bahkan terjadi pembakaran bendera simbol HTI di Garut oleh Banser bulan Oktober 2018, adalah bukti bahwa sudah ada dua kekuatan yang mengusung agama "Islam" yang terjadi di arus bawah.
Bahkan Rizieq Shihab waktu di Madinah pun di videonya yang beredar mengatakan, bahwa ada dua gerakan besar Islam yang saling menguasai yaitu Islam fundamental dan Islam tradisional. Islam tradisional tentu diwakili oleh Nahdlatul Ulama, dan fundamental adalah para pengusung negara Islam, atau yang sekarang ini mereka perhalus dengan nama NKRI bersyariah.
Terus, dimana PKI nya? Gak ada. Sama sekali tidak ada. Kalaupun ada potongan koran lama tentang pernyataan almarhum Jenderal AH Nasution bahwa PKI menipu dengan mempertentangkan Pancasila dan Islam, tentu itu beda konteksnya dengan sekarang.
Dulu memang begitu ketika PKI sedang kuat-kuatnya dan berhadapan dengan partai Islam Masyumi. Tapi sekarang, PKI nya saja sudah punah. PKI punah bukan saja di Indonesia, tapi juga di Rusia, yang dulu dikenal dengan Uni Sovyet.
Jadi, pak Gatot Nurmantyo sudah salah menempatkan kondisi dulu dengan situasi sekarang. Sekarang medan perangnya sudah berbeda, yang ada sekarang - mengacu pada apa yang terjadi pada beberapa negara di Timur Tengah seperti Suriah - adalah ideologi untuk mendirikan negara Islam melawan sistem negara yang sudah ada.
Pak Gatot "sang Jenderal Islam" hadapilah kenyataan di masa sekarang, bahwa yang terjadi di Indonesia mirip dengan awal-awal terjadi di Suriah.
Menguatnya ormas-ormas Islam fundamental yang hadir dengan model kekerasan seperti persekusi dan intimidasi, juga gerakan jangka panjang untuk mendirikan negara Islam, sudah tampak jelas di depan mata.
Jangan ditutup sebelah matanya, dengan ilusi PKI mengadu domba. Hadapilah kenyataan bahwa Islam sedang ditunggangi oleh kekuatan politik mengatas-namakan agama demi kekuasaan.
Bapak mantan Panglima TNI, tentu jauh lebih mengerti karena mendapat asupan informasi yang lebih detail dan akurat. Masak masih sibuk dengan pocong PKI yang melompat-lompat pun sudah tidak bisa?
Jika ingin mengatasnamakan "Islam" kenapa bapak tidak berdiri bersama Banser NU yang secara sadar bersama 4 juta anggotanya, bangkit untuk menghadapi ancaman pendukung khilafah yang memanfaatkan momen Pilpres ini untuk kembali eksis disini?
NU kan Islam juga? Dan kalau masalah dengan PKI, NU jugalah yang berhadapan langsung dengan mereka saat tahun 1965.
Semoga pak Gatot Nurmantyo segera melek dengan perkembangan yang ada dan tidak sibuk dengan ilusi masa lampau yang sejatinya sudah punah. Sekarang jamannya iCore pak, bukan lagi mesin ketik yang harus di tipeX karena ada salah kata.
Semoga secangkir kopi, bisa kembali menyegarkan suasana..Seruput.

Minggu, 31 Maret 2019

KIM JONG UN, PRABOWO DAN NARASI PERANG

Prabowo
Foto Prabowo Naik Kuda
Saya pernah menonton film tentang apa yang terjadi di dalam Korea Utara..
Film ini -saya lupa judulnya- adalah dokumentasi perjalanan seorang dokter yang diperbolehkan masuk Korea Utara ketika negara itu dilanda wabah penyakit mata.
Sang dokter itu membuat film yang tentu sudah banyak diedit oleh pemerintah sana. Meski begitu, sedikit banyak menggambarkan apa yang terjadi pada rakyat Korea yang sangat miskin dan 
tergantung pada pasokan pemerintahnya.
Pada waktu itu masih masa Presiden Kim Jong Il, bapak Kim Jong Un.
Dari reportase itu keluarga Kim yang menguasai Korea Utara mengontrol masyarakatnya dengan ketakutan. Baik takut pada kelaparan sampai takut pada Tuhan. Hanya di Korea Utara, yang diTuhankan adalah keluarga Kim itu sendiri.
Rakyat yang miskin itu seperti menyembah kepada mereka dan menganggap mereka itulah penyelamat kehidupan yang sedang susah.
Bahkan ketika sang dokter selesai mengoperasi mata yang sakit, mereka langsung menuju foto pemimpin mereka dan berterimakasih sampai membungkuk dalam seperti menyembah.
Program ekonomi Korea Utara gagal total meski pemerintahnya selalu bicara swasembada pangan.
Kim Il Sung, kakek Kim Jong Un, fokus membangun pertahanan yang kokoh dengan terus menerus mengalokasikan dana besar untuk persenjataan termasuk nuklir.
Untuk apa ? Tentu untuk mengalihkan kegagalan ekonomi mereka. Rakyat dipompa semangatnya dengan ancaman2 dari luar terhadap Korea Utara, ditakut2i akan ada serangan nuklir dari negara musuh mereka seperti Amerika melalui Korea Selatan.
Dan dengan bahasa2 perang itulah, rakyat Korea Utara akhirnya dipaksa memahami bahwa mereka lapar karena ada tujuan yang lebih besar.
Rakyat Korea Utara tidak pernah bisa berfikir bahwa miskinnya Korea Utara karena pemimpinnya tidak mau membangun infrastruktur, meningkatkan perekonomian, membuka akses pengetahuan global atau berdiplomasi untuk meningkatkan perdagangan dan kerjasama.
Tahunya rakyat Korea Utara adalah mereka perang, perang dan perang. Karena itulah mereka memuja dewa perang mereka, yaitu keluarga Kim. Kim Il Sung, Kim Jong Il dan yang sekarang memimpin Kim Jong Un.
Dan ketika saya mendengar debat semalam dimana Prabowo bicaranya selalu curiga akan perang dan paranoid akan invasi dari negara luar, saya jadi ingat Korea Utara.
Entahlah apakah ini kebetulan atau pola pikir Prabowo belajar dari mereka, tentang bagaimana menguasai negara untuk keluarga dengan narasi perang.
Mungkin secangkir kopi bisa menjawabnya..

PRABOWO DAN BAHASA PERANG

Prabowo
foto Prabowo
Perang, perang, itu saja yang mungkin ada dalam pikiran Prabowo..
Dalam debat kemarin malam, Prabowo merasa ia menemukan tema pembicaraan yang pas dengan dirinya saat berbicara pertahanan dan keamanan.
Prabowo menyoroti masalah alutsista, alat utama sistem senjata, militer kita. Ia juga membanggakan dirinya yang lebih TNI dari TNI sendiri. Ia mempertanyakan pengelolaan bandara dan pelabuhan komersial yang bekerjasama dengan asing.
Bahkan Prabowo sempat mengejek peran diplomasi para diplomat yang menurutnya "nice guy" atau hanya menyampaikan yang baik-baik saja, bukan sebagai penentu kebijakan. Prabowo bahkan membandingkan anggaran pertahanan Singapura yang mencapai 30 persen dari APBNnya.
Dari debat tadi malam, saya sebenarnya sudah bisa membaca arah pemikiran Prabowo yang hanya fokus pada "perang", baik itu perang untuk bertahan maupun perang untuk menyerang.
Bagi Prabowo, kata "invasi" atau aksi militer memasuki negara lain menjadi satu keharusan. Meski Jokowi sudah mengatakan, menurut intelijen Indonesia tidak akan diinvasi dalam waktu 20 tahun, Prabowo tetap tidak percaya. Bagi Prabowo, bahasa "senjata" adalah bahasa terbaik dalam diplomasi.
Mungkin ini berkaitan dengan pengalamannya di timor leste, dimana ia melakukan invasi dengan kekerasan militer selama bertugas disana.
Menurut catatan Tempo, Prabowo pernah menjadi Komandan Peleton para komando grup 1 Kopassandha dalam operasi Nenggala di Timtim (sekarang Timor Leste). Ia juga pernah memimpin pasukan Den 28 Kopassus yang ditugaskan untuk membunuh pendiri dan Wakil Ketua Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato.
Dari pengalaman invasi dan jejak militernya ini, ia melakukan hal yang sama dalam menangani demonstrasi mahasiswa di tahun 98 dengan membentuk tim mawar untuk melakukan penculikan aktivis.
Rekam jejak penanganan melalui kekuatan militer inilah yang membuatnya selalu mengedepankan rasa curiga sehingga perlu membangun pertahanan sekuat-kuatnya dengan senjata atau jika perlu menyerang dulu.
Prabowo gagap jika berbicara tentang teknologi, pembangunan bahkan ekonomi. Ia tidak punya pengalaman apapun disana, karena ia hanya tahu perang, perang dan perang.
Ini yang saya takutkan sebenarnya.
Apakah nanti jika kelak ia berkuasa, Prabowo akan menggunakan bahasa "perang" dalam menangani kritik rakyatnya terhadap dirinya ?
Ouch... Temperamen Prabowo yang mudah meledak, tidak stabil dan tidak siap menerima kritikan, mungkin akan menjadi senjata berbahaya bagi permasalahan di dalam negeri. Kita akan selalu dikondisikan dalam bahasa "perang" supaya bisa mengontrol rakyat Indonesia seperti yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun lamanya.
Bahkan mungkin saja, jika kelak menjadi Presiden dan ia gagal dalam masalah ekonomi, ia akan mengajak Indonesia perang dengan negara lain sekedar untuk menutupi kegagalan programnya dan mengalihkan ke masalah yang berbeda.
Saya sudah tidak mau ketawa lagi untuk urusan ini.
Secangkir kopi pun terasa pahit membayangkan kemungkinan-kemungkinan ini..

SAYA PUSING DENGAR JAWABAN PRABOWO

Debat Cspres
Debat Capres
Hari ini saya lebih menikmati pertunjukan Prabowo daripada materi debat. Dari sisi materi, apa yang disampaikan kedua Capres terasa datar-datar saja. Tidak ada serangan-serangan tajam seperti debat sebelumnya. Tidak ada masalah lahan, tidak ada masalah onlen onlen. Saya kira juga materi HTI dan ormas radikal masuk dalam sesi "ideologi" tapi tidak ada.
Debat malam ini saya lebih meniknati pertunjukan letupan emosi Prabowo..
Prabowo Subianto terlihat ingin menguasai panggung dengan memberikan banyak orasi dan penekanan kata-katanya. Tapi khas Prabowo, dari sana malah kelihatan temperamennya. Dan semakin naik temperamen Prabowo, semakin ngawur jawaban Prabowo.
Jujur saya pusing dengar jawaban Prabowo yang muter dari Boyolali sampai Siborong borong. Tidak ada jawaban dalam bentuk "apa" yang dia lakukan dalam setiap masalah yang disampaikan. Yang ada malah curhat, trus emosi-emosi sendiri malah sampai membentak penonton "jangan ketawa kalian !"
Jokowi sendiri tampak tidak melayani emosi Prabowo dan seperti memberi kesempatan Prabowo meluapkan semuanya supaya penonton bisa menilai sendiri. Dan Prabowo semakin mutar, curhat, ngomel, tapi tidak menyentuh akar masalah yang ada.
Saya kebayang kalau Prabowo menjadi Presiden ketika ditanya Menterinya, "Pak, bagaimana cara kita menyelesaikan masalah kemiskinan ?" Prabowo bukannya menjawab dengan solusi, tapi malah membanggakan dirinya, "Saya ini lebih TNI dari TNI, ahlinya ahli, core of the core. Jadi masalah kemiskinan sudah menjadi makanan saya.."
Terus aja begitu, tapi tidak ada jawaban yang pasti.
Yah mungkin kita juga sudah bosan menonton debat, dan tidak ada perubahan dari hardcore pemilih Jokowi maupun Prabowo sesudah melihat debat. Tetap saja Jokowi 53 persen dan Prabowo hanya 33 persen.
Cuma satu catatan saya sesudah melihat debat malam ini.
Saya jelas tidak ingin punya Presiden pemarah. Jangan-jangan nanti saya ketawa pun dilarang.
Jadi ingat kata Warkop Prambors, "Ketawalah sebelum tertawa itu dilarang Prabowo.."
Sudah. Seruput kopi jangan sambil ketawa. Keselek cangkirnya nanti.

Rabu, 27 Maret 2019

Yusril: Prabowo Islamnya Gak Jelas

Yusril
Foto Yusril
Beredar video Prof Yusril Ihza Mahendra yang membuka dengan terang benderang.

Di video itu, Yusril dengan blak-blakan cerita ketika dia menelepon Rizieq Shihab bertanya siapa calon Presiden yang harus didukung untuk Pilpres 2019.

Dan jawaban Rizieq Shihab jelas, "Harus dari ulama, karena Prabowo Islamnya gak jelas." Karena itu yang diajukan adalah Abdul Somad. Tapi ternyata nama Prabowo tetap teratas.

Yusril nanya lagi, "Gimana nih? Dia kan pedagang bukan ulama." Rizieq lalu berkata, "Kita buat Ijtimak ulama kedua."

Di sinilah Yusril merasa heran. Ini kok kayak main-main dalam menentukan pilihan bangsa ke depan.  Dan di akhirannya dia tahu bahwa ternyata Ijtimak ulama kedua itu fungsinya hanya untuk melegitimasi Prabowo sebagai Capres, bukan produk hukum yang mengeluarkan fatwa yang benar.

"Prabowo yang ikut ulama atau ulama yang ikut Prabowo?" Tanya Yusril. Dan atas dasar itulah, dia keluar dari koalisi oposisi. Dia tidak mau bertanggung jawab akan apa yang terjadi.

Sejak awal kita sudah menduga bahwa Ijtimak Ulama yang digelar adalah produk politik bukan produk hukum Islam. Ulamanya saja gak jelas, ketua acaranya juga dari tim sukses.

Tetapi mereka sangat bisa menutupi jejak kebohongan itu dengan baju agama, menakut-nakuti jamaahnya dengan kata "ulama" supaya tunduk dan tidak banyak bertanya.

Buat oposisi, dalam politik, kebohongan itu sah-sah saja. Ada simbiosis mutualisma antara para politikus dan mereka yang mengaku berbaju agama untuk memainkan narasi agama sebagai senjata.

Dan dugaan-dugaan itu akhirnya terang benderang dibuka oleh Yusril Ihza Mahendra. Tidak ada lagi ruang untuk menutupi kebohongan itu, meski mereka akan tetap menyangkal dengan seru.

Menarik bahwa semua itu dibukakan Tuhan dalam berbagai peristiwa sehingga akal kita akhirnya berpikir. Mungkin Tuhan sendiri murka ketika hambaNya memakai baju "pewaris NabiNya" dan menjual ayat-ayatNya dengan sangat murah.

Hanya untuk kekuasaan dunia yang sementara.

Seruput kopinya.

Tagar.id

Selasa, 26 Maret 2019

Benarkah HTI Sudah Bubar?

HTI
Bubarkan HTI
"HTI sudah bubar. Kenapa mesti kalian takuti??"
Begitu rata-rata jawaban komen dari para simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia yang pada bulan Juli 2017 dibubarkan Jokowi, saat saya menulis tentang bahayanya ideologi HTI yang mendompleng Pilpres 2019 ini.
Benar secara formal HTI sudah dibubarkan, bahkan di tingkat Mahkamah Agung, kasasi HTI ditolak. HTI sudah tidak boleh lagi menggunakan simbol-simbol maupun nama organisasi untuk segala kegiatannya di negeri ini.
Tapi ideologi mereka tetap ada. Ideologi untuk mendirikan negara Islam tetap mereka percaya dan terus mereka bangun, karena mereka percaya pendirian negara Islam itu adalah perintah Tuhan. HTI akan terus bergerak dengan nama apa saja untuk mewujudkan tujuannya.
Dan sejujurnya, pada waktu HTI masih ada pun mereka sudah menyebar menyelusup ke banyak organisasi maupun elemen pemerintahan. Ideologi itu tidak berwujud, ia ada di dalam pikiran.
Kebayang kan waktu Jokowi membubarkan HTI, yang banyak protes mulai dari dosen, rektor sampai Guru Besar di sebuah perguruan tinggi negeri? Ini menunjukkan gerakan HTI sudah masuk dalam ke akar pendidikan kita, menyebarkan paham kebencian terhadap Pancasila bahkan Indonesia ini negara kafir bagi mereka.
Dan dari dunia pendidikan itu, mereka menyebarkan kader-kadernya ke institusi pemerintahan, aparat dan warga biasa.
Kenapa HTI mudah menyusup masuk ke pilar-pilar negeri ini? Karena mereka memakai baju agama sebagai kedok mereka. Dan di masyarakat yang agamis ini, narasi agama adalah narasi yang sulit ditolak, apalagi ketika dipropagandakan bahwa itu perintah Tuhan. Siapa yang mau menolak perintah Tuhan??
Dan sekarang HTI mendapatkan momentumnya untuk bergerak lagi melalui sistem Pemilu kita. Mereka mendompleng pasangan Capres sebagai kuda tunggangan mereka supaya bisa aktif kembali tanpa dilarang. Mereka tahu, jika Jokowi berkuasa kembali, mereka akan segera dihabisi.
"HTI sudah bubar. Kenapa mesti kalian takuti??"
Pertanyaan ini sesungguhnya lucu, karena pada waktu yang bersamaan mereka juga percaya bahwa PKI masih ada meski sudah dibubarkan sejak lama.
Sungguh kalau ketemu teman-teman dari HTI, hanya satu pertanyaan yang ingin saya ajukan sambil seruput secangkir kopi.
"Adakah contoh negara khilafah seperti konsep HTI yang sudah berdiri sejak lama dan benar-benar memakmurkan rakyatnya seperti yang diyakini? Bahkan Arab Saudi, negara yang mereka anggap sebagai negara Islam pun bentuk negaranya monarki."
Seruput.

Tagar.id

PRABOWO DAN ISLAM RADIKAL

Islam Radikal
Cokro TV
"Ibu saya seorang Kristen, apa mungkin saya mendukung Islam radikal??" Begitu orasi Prabowo ketika kampanye di Manado.
Benarkah ? Apakah Prabowo memang tidak tahu atau sedang bermain mata bahwa banyak kelompok ormas Islam radikal yang berada di barisannya ?
Yok kita kulik siapa-siapa yang ada di belakang Prabowo.
Besok, hadir Muannas Al Aidid seorang pengacara yang menjebloskan Jonru Ginting ke penjara dan dia pernah ada di dalam tubuh kelompok itu. Ada juga Hasanuddin Ali dari Alvara research yang bisa nemberikan data seberapa kuat kelompok radikal itu mendukung Prabowo.
Dan terakhir, ada M Nuruzzaman, ketua Densus 99, kelompok elite di Banser NU, yang akan membongkar siapa saja kelompok radikal yang berada di belakang Prabowo.
Pasti seru ! Yang mau hadir, silahkan reservasi ke Maya ya, ada no teleponnya di flyer. Atau nonton live streamingnya di FB jam 3 sore, besok..
Salam secangkir kopi.

Minggu, 24 Maret 2019

MRT DAN KEPUTUSAN POLITIK JOKOWI

MRT
MRT
"Pembangunan MRT adalah keputusan politik saya dengan Ahok.."

Begitu kata Jokowi saat peresmian Mass Rapid Transit di Istora Senayan. Dan ributlah banyak orang mendengar pernyataan Jokowi itu. "Kan yang gagas BJ Habibie? Kok ngaku-ngaku ?" Kata beberapa orang tidak terima pernyataan Jokowi itu.

Bahkan Demokrat pun menyanggah, bahwa pembangunan MRT ada di masa Gubernur Fauzi Bowo karena dialah yang melakukan groundbreaking atau peletakan batu pertama.

Tapi tunggu dulu, salahkah apa yang dikatakan Jokowi ?

Konsep MRT memang sudah digagas pada masa Presiden BJ Habibie. Tetapi pembangunannya tertunda sampai 27 tahun lamanya. Pada akhirnya tahun 2012, Foke melakukan peletakan batu pertama pembangunan MRT.

Hanya saja, rekam jejak di proyek infrastruktur kita mengajarkan bahwa tidak ada korelasi antara peletakan batu pertama dengan mulainya pembangunan. Bahkan tol Bocimi sudah melakukan 4 kali peletakan batu pertama sejak 1996, dan baru dibangun beneran oleh Jokowi pada tahun 2015.

Apa yang menyebabkan pembangunan terhambat ?

Tentu masalah perhitungan yang melibatkan biaya konstruksi dan nilai pengembalian investasi atau ROI. Tidak ada pihak yang mau rugi investasi triliunan rupiah tapi gak jelas gimana baliknya. Di meja negosiasi inilah letak hambatan besarnya.

Lalu dimana peran Jokowi ?

Yang tidak banyak dibahas oleh mereka yang menolak pernyataan Jokowi itu adalah bagaimana rumitnya perhitungan biaya pembangunan dan beban hutang MRT, karena itu akan berimbas pada harga tiket penumpang. Dan ini sudah menjadi bola panas yang digulirkan di media pada waktu itu.

Masyarakat Transportasi Indonesia MTI sendiri menolak skema hutang Jepang itu. Karena pembangunan MRT Indonesia jadi lebih mahal dari Singapura, India bahkan Venezuela.

Jokowi yang saat itu Gubernur juga merasa berat dengan beban hutang yang dibebankan ke Pemprov DKI sebesar 59 persen. "Berapa nanti harga tiketnya ?" Itu yang ada dalam pikiran Jokowi. Dia melobi pusat supaya menanggung 70 persen hutang supaya ROI return of investment atau pengembalian investasi DKI jadi lebih masuk akal.

Akhirnya pusat merubah keputusannya, dengan merubah komposisi beban hutang yang ditanggung DKI jadi 51 persen dan sisanya pusat. Hemat 8 persen yang juga merubah harga tiket dan ROI.

Banyak kerumitan lainnya selain hanya "menggagas" dan "meletakkan batu pertama", karena jangan sampai hutang besar itu kelak menjadi beban rakyat karena MRT ternyata tidak mampu mengembalikan hutang kepada Jepang sebab tidak ada penumpangnya.

Akhirnya sesudah hitung menghitung dengan ketat, Jokowi mengeluarkan "keputusan politiknya". MRT harus jadi, karena kerugian akibat kemacetan Jakarta jauh lebih besar dari nilai investasi yang harus dikeluarkan.

Keputusan inilah yang diperlukan untuk melakukan eksekusi dan ini butuh keberanian ditengah gencaran keraguan banyak pihak terhadap mega proyek itu. Keputusan berani yang sama yang dilakukan Jokowi ketika mengeksekusi tol becakayu dan tol bocimi yang sudah mangkrak puluhan tahun lamanya.

Jadi, tidak ada yang salah dengan pernyataan Jokowi bahwa "keputusan politik"nya lah yang menbuat MRT akhirnya berjalan pembangunannya.

Lha, gak usah jauh-jauh MRT, pembangunan jalan tol dimana-mana yang berguna untuk lalu lintas transportasi dan industri saja banyak yang nyinyir, "Memangnya rakyat mau makan aspal ??"

Yang anehnya, tidak ada yang nyinyir dengan MRT, "memangnya rakyat disuruh makan rel ??". Mungkin karena peletakan batu pertamanya oleh Fauzi Bowo yang didukung penuh oleh Demokrat.

Daripada sibuk makan aspal dan makan rel, mending kita seruput kopi.

Sabtu, 23 Maret 2019

MEREKA JATUH CINTA PADA JOKOWI

Jokowi dan Warga
Awalnya warga Solo ragu pada Jokowi..

Pada saat awal Jokowi mencalonkan diri menjadi Walikota Solo pada tahun 2005, siapa yang kenal dia ?

Potongan Jokowi tidak mencerminkan sebagai seorang negarawan. Cungkring, hitam, bahkan jasnya saja kebesaran. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa satu waktu ia akan menjadi orang besar. Jangankan warga Solo, bapaknya saja tidak percaya anaknya akan menjadi Walikota.

Meski begitu, Jokowi terpilih dengan suara yang kecil sekali, sebanyak 36,52 persen suara. Jumlah suara yang mencerminkan apatisme warga Solo terhadap calon pemimpin yang pasti tidak akan pernah menjadi wakil mereka.

Tetapi Jokowi langsung menggebrak. Ia tahu, apatisme warga karena mereka belum tahu siapa dirinya. Jokowi langsung membenahi birokrasi, memindahkan pedagang bekas di alun-alun kota dan menjadikan Solo meroket ekonominya sebagai kota pariwisata dengan konsep meeting, incentive, conferencing dan exhibitions atau MICE.

Selama 5 tahun menjabat, warga Solo akhirnya tahu siapa Jokowi dan mulai jatuh cinta padanya. Mereka akhirnya meningkatkan standar kepemimpinan Solo pada level sangat tinggi dengan kinerja Jokowi.

Dan hasilnya, pada pemilihan kedua sebagai Walikota, Jokowi mendapat 90 persen suara rakyat Solo. 90 persen, gaesss.. Menang mutlak.

Rekam jejak ini yang mengantarkan Jokowi akhirnya menjadi Presiden negeri ini, ditengah krisis kepemimpinan akibat dipimpin seorang mantan militer yang lebih sibuk dengan partainya daripada rakyatnya.

Meski begitu, masih banyak yang ragu akan ketegasan dan langkah besar Jokowi membangun negeri. Yang benci pun tidak kalah banyaknya..

Tetapi 4 tahun membangun negeri, orang akhirnya tahu siapa Jokowi. Meski dihujani fitnah dan hoax, banyak yang melihat bahwa prestasi-prestasi terbesar diukir Jokowi. Tidak salah jika dari sebagian yang kemarin membencinya, mulai jatuh cinta padanya.

Entah kenapa saya yakin, ketika saat pencoblosan nanti, berbondong-bondong masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri akan bergerak mencoblos Jokowi. Bukan untuk kemenangan dia, tetapi untuk kemenangan kita yang punya harapan lagu Indonesia Raya akan dinyanyikan dengan penuh kebanggaan di luar sana

Mencintai Jokowi dan apa yang sudah dan kelak akan dia lakukan, adalah bagian dari mencintai negeri ini..

Ah, rasanya mau seruput secangkir kopi.

Artikel Terpopuler